SEMARANG – Kuota perempuan 30 persen dalam penyusunan Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2019 bukanlah jatah dari Pemerintah. Melainkan harus dijemput dengan kerja keras, dedikasi dan perjuangan yang tidak mudah, sehingga posisi kuota 30 persen perempuan tetap bertahan hingga di parlemen.
Hal itu dikatakan Wakil Ketua Bidang Hukum Politik dan Advokasi PW Fatayat NU Jawa Tengah, Atatin Maliha, dalam sambutannya mewakili Ketua PWFNU Jateng dalam FGD Penguatan Budaya dan Etika Politik
“Etika Politik Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila” yang diselenggarakan PW Fatayat NU Jateng bekerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Jawa Tengah, di Kendal, Kamis (25/10/2018) siang.
“Ini kebetulan ada beberapa kader Fatayat yang akan berjuang menjadi Caleg. Di Fatayat kebetulan beragam warna, tidak hanya dari satu partai, tapi banyak partai. Tugas kader Fatayat adalah bagaimana perempuan mewarnai parlemen dengan tiga fungsinya,” kata Atatin.
Menurut Atatin, perempuan yang sudah memutuskan untuk maju sebagai caleg harus meningkatkan kapasitas, attitude, penguasaan tupoksi dan memahami tiga fungsi DPR. Yakni fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan, sehingga perempuan yang menjadi legislator nantinya tidak terjerat oleh perilaku yang koruptif.
“Bagaimana anggota dewan membuat kebijakan jika tidak tahu regulasi?,” ucapnya.
Berdasarkan data yang ia peroleh, jumlah legislator perempuan di DPR RI tidak pernah menyentuh di angka 30 persen. Sepanjang sejarah, komposisi perempuan di DPR RI paling tinggi adalah hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 yakni 18,2 persen. Kemudian di Pemilu Legislatif tahun 2014 mengalami kemerosotan menjadi 17,3 persen.
Melihat kondisi dan pola rekruitmen calon legislator perempuan di Pemilu 2019 ini, Atatin tidak yakin kuota 30 persen perempuan di parlemen akan tercapai.
“2019 saya tidak yakin keterwakilan perempuan akan bertahan di angka 17 persen. Tapi mudah-mudahan ini tidak terjadi, semoga meningkat, 30 persen kuota tercapai,” tandasnya.
Ada tiga hal, kata Atatin yang harus dipenuhi oleh para perempuan yang menjadi caleg agar bisa bisa mewarnai Parlemen. Pertama, dari secara internal seorang caleg perempuan harus memahami dan menguasai tiga fungsi DPR yakni legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Kedua, percaya diri dan berani.
Pihaknya melihat, Partai Politik masih menomorsekiankan perempuan dan dominasi laki-laki masih ada.
Dibutuhkan keberanian dari para caleg perempuan agar perannya lebih menonjol. Ia mencontohkan, dalam berbagai forum diskusi, perempuan lebih memilih duduk di belakang karena tidak percaya diri.
“Ini harus diubah, karena ini dibaca laki-laki bahwa perempuan tidak Pede. Belum lagi soal diskusi pegang mic dan sebagainya. Tunjukkan kemampuan kita, berikan ide brilian,” tandasnya.
Ketiga, lanjutnya, para caleg perempuan yang berhasil mendapatkan kursi di Parlemen hendaknya mampu memegang peran di kerja-kerja legislasi.
“Perempuan harus mampu memimpin sidang, kerja kerja legislatif kan rapat-rapat, sidang-sidang,” tuntasnya.
Selain dari pengurus PW Fatayat Jateng, dalam kegiatan FGD tersebut juga hadir Kepala Bidang Politik Dalam Negeri KesbangPol Jateng, Ibnu Kuncoro serta Drs. Multazam Ahmad, MSi Sekretaris MUI Provinsi Jateng yang membawakan materi berjudul “Rekrutmen Politik dalam perspektif Budaya dan Etika”. Kegiatan ini diikuti oleh 60 peserta dari perwakilan PW Fatayat NU Jateng dan PC Fatayat Kendal.
Titik Indriyana-red